Saudaraku..

Monday, January 25, 2010

Muhammad Ibnu Abbad

Sufi Pensyarah Al-Hikam
Ibnu Abbad tidak dikelilingi oleh kisah-kisah legenda ajaib, seperti kebanyakan sufi yang lainnya... Kita mendapati dalam diri Ibnu Abbad sosok seorang sahabat yang
tenang tempat kita menaruh kepercayaan; seorang yang tidak membuat kita silau dengan berbagai gagasan agung atau membuat kita bingung dengan kecanggihan teosofis; seorang sahabat yang tidak memaksakan pikiran-pikirannya pada diri kita, tetapi justru menunggu sampai kita berangsur-angsur dapat memahami tanggung jawabnya yang tinggi atas kesejahteraan spiritual pembacanya. (Annemarie Schimmel)

Muhammad Ibnu Abbad (1332-1390) adalah seorang tokoh sufi Tarekat Syadziliyah terkemuka kelahiran Spanyol pada abad ke-14. Ia lahir pada tahun 1332 di Ronda, sebuah kota di puncak bukit di Spanyol, yang waktu itu berada di bawah kekuasaan Dinasti Mariniyah. Pada usia tujuh tahun ia sudah dapat menghafah al-Qur’an dan mulai mempelajari fiqih Madzhab Maliki. Pada tahun 1347, ia terpaksa hijrah ke Fez, Maroko, akibat tekanan dan penaklukan kembali orang-orang Kristen yang berhasil mengalahkan Sultan Mariniyah pada tahun 1340 dan membuat kehidupan kaum muslimin di Spanyol menjadi semakin sulit.

Di Fez, Ibnu Abbad kembali belajar fiqih Maliki dan teologi. Mentor termasyhur Ibnu Abbad di bidang fiqih adalah asy-Syarif at-Talimsani (w. 1369), seorang pemimpin kebangkitan kembali Malikisme. Sementara itu di bidang teologi, ia belajar teologi Asy’ariyah kepada al-Abili (w. 1356), dengan kajian kitab Al-Irsyad, karya al-Juwaini (w. 1086), salah seorang guru al-Ghazali. Di samping kedua pokok kajian tersebut, ia juga mempelajari himpunan hadits Nabi Shahih Muslim, karya Muslim al-Muwaththa’ dan karya Malik bin Anas. Karya yang disebut terakhir ini dipelajari dari al-Imrani, seorang faqih kenamaan yang disebut-sebut sangat tertarik pada tasawuf. Ibnu Abbad sendiri mengenal tasawuf lewat guru-guru fiqihnya yang juga mengajarkan tasawuf secara pribadi, dengan memakai karya-karya klasik al-Maliki, al-Ghazali dan Suhrawardi.

Situasi kota Fez yang sangat kacau akibat perebutan kekuasaan setelah meninggalnya Sultan Abu Inan pada tahun 1358, memaksa Ibnu Abbad untuk kembali meninggalkan kota ini menuju ke barat (Sale), sebuah kota di tepi laut Atlantik. Di sana ia berguru kepada Ibnu Asyir (1300-1362), seorang wali yang dikenal sebagai tokoh poros kebangkitan tasawuf di luar tarekat. Ia kemudian menjadi murid kesayangan dari Ibnu Asyir. Di bawah bimbingan Ibnu Asyir, Ibnu Abbad banyak mengetahui dan membaca tasawuf dari berbagai cabang tarekat serta gayanya, sampai pada akhirnya ia memutuskan menjadi anggota Tarekat Syadziliyah.

Setelah Ibnu Asyir meninggal, Ibnu Abbad meninggalkan Sale menuju Tangiries. Di sana ia berguru kepada seorang sufi yang tidak begitu dikenal, Abu Marwan Abul Malik. Setelah tinggal untuk bebrapa waktu, ia kembali ke Fez, dan di sana ia berkenalan dan bersahabat dengan Yahya as-Sarraj dan Abu Rabi Sulaiman al-Anfasi. Atas permintaan kedua sahabatnya ini ia menulis At-Tanbih yang diselesaikannya antara 1370-1372. Setelah itu Ibnu Abbad kembali ke Sale dan tinggal di sana sampai sekitar 1375. Kemudian, karena reputasi dan integritas pribadinya, serta kemasyhuran Tanbih-nya, Sultan Abu al-Abbas Ahmad lalu mengangkatnya sebagai imam dan khatib Masjid Qayrawiyin di Fez, institusi agama dan ilmu tertua yang paling bergengsi di Afrika Utara.

Sebagai khatib, Ibnu Abbad dalam menyampaikan khutbah-khutbahnya lebih memilih dan menyukai gaya didaktis (pengajaran) ketimbang nasihat atau peringatan. Ia dengan setia menunaikan tugas-tugasnya, meyakinkan jamaah dengan caranya yang halus dan membimbing mereka menuju kepada – yang disebutnya -- pusat kehidupan manusia, yakni ketulusan, kepastian, dan rasa syukur. Ia juga suka menggugah langsung hati nurani jamaah, lewat materi-materi dakwahnya yang selaras dengan kehidupan sehari-hari.

Yang menarik, Ibnu Abbad tidak memandang khutbah umum itu sebagai forum yang tepat untuk menyampaikan masalah-masalah tasawuf. Sebaliknya, ia membahas masalah tasawuf secara lebih mendalam melalui syarah kitab Al-Hikam karya Ibnu Atha’illah dan dua koleksi surat-suratnya (keseluruhannya ada 45 buah surat) yang berhasil diedit oleh P. Nwya, seorang Jesuit asal Irak. Melalui dua karyanya inilah dapat memahami gambaran jiwa Ibnu Abbad dan metode bimbingan spiritualnya.

Dengan rendah hati ia mengakui bahwa dirinya tidak pernah menikmati dzauq, “pengalaman mistis” atau secara langsung mencicipi “kebahagiaan” yang tidak terucapkan; ia tidak pernah mengalami luapan perasaan yang membuatnya ekstase seperti dialami oleh para sufi lain. Oleh karena itu, tidak satu pun tema-tema sentral seperti ucapan-ucapan syathah, hal atau maqam kaum sufi yang bisa ditemukan dalam surat-suratnya. Demikian juga tidak ditemukan topik-topik favorit para teoritis sufi dalam tulisan-tulisannya seperti pembahasan tentang alam-alam yang mesti ditempuh jiwa, pemikiran tentang Dzat yang Wujudnya Mesti Ada, dan tentang sosok akretip Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi ia merasa puas dengan apa yang telah dipelajari dan ditelaahnya terhadap kitab-kitab para guru sufi sebelumnya.

Melalui syarah Al-Hikam Ibnu Abbad-lah, tulisan-tulisan Ibnu Attha’illah dikenal di belahan barat negara-negara Islam dan memiliki pengaruh besar terhadap cabang-cabang yang berlainan dari tasawuf Maghribi. Dan tidak lama kemudian Tarekat Syadziliyah menyebar ke Afrika Utara. syarah Al-Hikam-nya ini pulalah yang membuatnya terkenal, dan berdasarkan ajaran-ajaran Syadziliyah ia perlahan-lahan tumbuh menjadi pemimpin sufi, bukan seorang pemimpin yang menginginkan kepatuhan mutlak atau memaksa murid-muridnya untuk meniru setiap kata dan langkahnya, tetapi, lebih dari itu, ia seorang pembimbing jiwa yang penuh perhatian dan kelembutan.

Selama seperempat terakhir abad ke-14, Dinasti Mariniyah mengalami kemunduran. Sehingga kota Fez waktu itu mengalami kesulitan politik dan bahkan krisis spiritual. Ibnu Abbad sendiri tinggal di sebuah rumah kecil di dekat masjid. Bila ia pergi ke masjid, sejumlah anak kecil selalu mengikutinya. Ia memang cukup punya perhatian terhadap anak-anak di mana ia tinggal, termasuk orang-orang di sekitarnya.

Menjelang akhir hayatnya, ia menulis untuk sahabatnya, Abu al- Abbas al-Marakusyi, bahwa dirinya merasa jauh dengan Fez dan sudah lelah dengan kewajiban-kewajibannya. Ia seakan pasrah untuk menyongsong datangnya hari kematian. Sebagian sumber mengatakan, Ibnu Abbad tetap membujang sampai akhir hayatnya. Kalaupun menikah, itu dilakukannya sekadar mengikuti sunnah Nabi. Sampai akhir hayatnya, Ibnu Abbad juga belum sempat menunaikan ibadah haji. Ibnu Abbad wafat pada tanggal 17 Juni 1390 dan dimakamkan di hadapan sultan serta penduduk Fez.

Ajaran-ajaran Spiritual Ibnu Abbad
Seluruh pemikiran Ibnu Abbad terpusat pada penyucian jiwa manusia guna menunaikan kewajiban-kewajibannya kepada Tuhan dengan penuh ketulusan. Sebab hanya satu dzat yang kepada-Nya manusia bersandar; hanya ada satu dzat yang bertangungjawab atas segala ciptaan, dan itulah Tuhan, Pencipta, Pemberi Rezeki, dan Hakim. Wajar bila kemudian Ibnu Abbad memberikan tempat terhormat di dalam sistemnya bagi perjuangan tiada henti melawan nafs. Karena menurutnya, nafsu adalah tirai atau penghalang terbesar antara seorang hamba dengan Tuhannya. Tiada kedatangan kepada Tuhan kecuali oleh Tuhan, sebagaimana juga tiada batas antara pengabdi dan Tuhannya kecuali nafs-nya. Seseorang tidak menentang nafs dengan nafs tetapi melawannya dengan nama Tuhan. Dengan kata lain, memerangi nafs dengan sarana kemanusiaan bakal sia-sia, hanya Tuhan yang bisa menyelamatkan manusia dari muslihat nafs bila manusia berserah diri sepenuhnya.

Oleh karena itu, Ibnu Abbad mengajarkan bahwa seorang salik harus memiliki keyakinan dan kepercayaan penuh kepada kearifan Tuhan.

Keyakinan ini harus terpateri kuat di dalam jiwa dan menjadi keyakinan yang tak tergoyahkan. Ibnu Abbad melihat bahwa keyakinan penuh kepada kearifan Tuhan merupakan hal tertinggi yang bisa diharapkan oleh seorang salik, dan orang yang telah mencapainya tak memerlukan lagi pengungkapan-pengungkapan misteri-misteri ghaib. Keyakinan ini lebih lanjut akan melahirkan sikap untuk selalu husnudhan (prasangka baik) terhadap Tuhan.

Selanjutnya prasangka baik ini akan memanifestasikan dirinya dalam pemikiran dan perilaku yang lebih khas dan jelas, yaitu rasa syukur, suatu maqam spiritual yang menampung semua maqam lainnya. Syukur inilah yang menjadi inti pengajaran spiritual Ibnu Abbad. Seseorang hamba yang meyakini penuh bahwa apapun yang datang dari Tuhan adalah baik, dia haruslah menerimanya dengan rasa syukur.

Dalam surat-suratnya, ia selalu menasihati murid-muridnya dan sahabat-sahabatnya agar selalu bersyukur. Manakala Tuhan menimpakan derita dan kesengsaraan kepada seseorang, ini berarti bahwa Dia ingin agar orang tersebut berpaling kepada-Nya yang telah dilupakan di tengah hiruk-pikuk kehidupan dunia. Ibnu Abbad mampu mengajari pembacanya bahwa selalu saja ada alasan dan cara untuk bersyukur kepada Tuhan atas sesuatu dan semakin tumbuh rasa syukur ini, semakin tumbuh pula menjadi kebiasaan jiwa, dan manusia tak perlu lagi merasa khawatir dan cemas. Ia merasa aman seperti bocah dalam dekapan Tuhan.

Mengenai cara mengucap syukur, Ibnu Abbad, sebagaimana tradisi para sufi, mengajarkan bahwa pertama-tama manusia haruslah mengucap syukur kepada Tuhan dengan lidahnya, yaitu melantunkan puji-pujian untuk Allah dan memaklumkan kemurahan-Nya. Kemudian dengan hatinya, sehingga seluruh jati dirinya berubah menjadi suatu syukur yang mendalam dan tiap saat dalam hidupnya terdiri dari syukur kepada Allah yang tercermin dari amal saleh. ‘Ala kulli hal, tegas Ibnu Abbad, seluruh kegiatan dan tindakan kita haruslah berupa pikiran tentang kemurahan hati Tuhan kepada kita dan berpendirian bahwa kekuasaan dan kekuatan kita adalah nihil, dan mengikatkan diri kita kepada Allah dengan suatu kebutuhan yang mendalam terhadap-Nya, dan memohon kepada-Nya agar memberi syukur kepada kita.”

Demikian Ibnu Abbad menyimpulkan ajaran Tarekat Syadziliyah yang dianutnya, sebuah ajaran yang menggugah untuk selalu memelihara jiwa hingga timbul kesadaran diri bahwa kita sepenuhnya di tangan Allah, dan oleh karenanya ucapan terima kasih (syukur) harus selalu mengalir dalam setiap tarikan nafas untuk anugerah kebaikan-Nya.

Ibnu Abbad juga mengajarkan agar seorang salik senantiasa waspada terhadap makr Tuhan, utamanya dalam hal pemberian karunia-Nya. Hal ini secara sepintas nampak kontradiksi dengan ajarannya tentang keyakinan penuh akan kearifan Tuhan. Namun, maksud Ibnu Abbad, dalam hal ini adalah agar seorang hamba tidak sampai terlena, terkelabui, akibat limpahan anugerah yang diterimanya, sehingga sampai melupakan sang pemberi anugerah tersebut walaupun hanya sedetik. Kecemasan Ibnu Abbad sendiri yang senantiasa siaga terhadap makr Tuhan membayang jelas di dalam pengabdiannya: “Jika Tuhan memberimu sesuatu yang baik Dia mungkin ingin menghukummu. Oleh karena itu seseorang harus senantiasa waspada dan tidak melalaikan kepatuhan dan shalat sedetik pun”.

Implikasi lanjut dari sikap waspada ini membuat Ibnu Abbad lebih memilih dan memandang baik keadaan qabdh, kesempitan atau keadaan sedih dan murung ketimbang basth, keluasan. Dalam keadaan sedih dan murung (qabdh), manusia merasa bahwa tidak ada sesuatu pun kecuali Tuhan tempat menaruh kepercayaan, sementara dalam keadaan bahagia (basth) dia mudah sekali lupa bahwa kebahagiaannya bukanlah hasil kerja manusia malainkan semata-mata karena kebaikan Tuhan. Ibnu Abbad mengatakan bahwa terhadap orang yang menjalani qabdh, Tuhan akan mengungkapkan kemurahan hati-Nya secara lebih baik dibandingkan bila seseorang mempersembahkan hadiah-hadiah yang bersifat nyata ataupun pelipur ruhani.

Ibnu Abbad membandingkan qabdh dengan malam tempat hal-hal besar akan lahir. Qabdh dalam pandangannya, lebih tinggi dari basth karena di dalam qabdh manusia sama sekali pasif, menanggalkan kemauannya sendiri, dan bertindak hanya sejauh yang Tuhan kehendaki. Dalam keadaan demikian, ia bisa merasakan ketergantungan sepenuhnya kepada Tuhan, ketiadaannya, dan hal ini lagi-lagi akan mengantarnya kepada sikap tertinggi yang dapat dicapai seseorang, yaitu syukur yang tiada putus-putusnya.

Jika dilihat dari ajaran-ajarannya, Ibnu Abbad nampaknya seorang praktisi ibadah ketimbang teoritisi. Sebagai praktisi, ia memang memiliki daya tarik tersendiri karena telah memberikan peran yang besar dalam mengangkat dan mengharumkan nama Tarekat Syadziliyah. Satu hal yang tidak boleh dilupakan, syarah Al-Hikam -- sebagai masterpiece tarekat ini -- yang dikomentarinya telah turut pula mempopulerkan namanya dalam sejarah para sufi terkemuka.

Sumber : sufinews.com

an-Nifary

Pengelana Sufi dari Iraq
Sufi besar ini lahir di Iraq. Ketinggiannya ilmunya melampaui Rumi dan al Hallaj. Ia adalah teoritikus sufi sekaligus sastrawan besar. Nama mistikus an-Nifary mungkin agak asing ditelinga kita.Tidak seperti al Bustami maupun al Hallaj, ia seakan kurang begitu terdengar. Padahal di mata ahli tasawuf pandangan-pandangan sufistiknya sangat berpengaruh. Para sufi sesudahnya banyak yang mengikuti jejak pria kelahiran Iraq ini.

Walau lirih, An-Nifary telah meninggalkan tapak-tapak yang tidak kalah penting dibanding al Hallaj maupun al Bustami.Bahkan dalam memaknai tasawuf an-Nifary dipandang lebih hati-hati dan tidak kontroversial. Meskipun sosoknya bisa dibilang agak sulit, tetapi dirinya menjadi tokoh panutan yang tiada banding.

Bernama lengkap Muhammad ibnu Abd Jabbar bin al Husain an-Nifary, dikenal tidak hanya sebagai seorang sufi saja. Dunia kesusastraan telah menempatkan dirinya dalam pada puncak kemasyhuran. Kehidupan tokoh ini sulit terlacak. Di duga ia dilahirkan di Basrah Iraq dengan tanggal dan tahun yang sulit ditemukan. Minimnya data disebabkan oleh pribadi an-Nifary. Sang sufi dikenal sebagai seorang yang suka menyendiri. Disamping itu kesehariannya lebih dikenal sebagai sosok pengelana.

Kesohor sebagai pengembara menjadikan pengamat sufisme Dr. Margareth Smith menjulukinya sebagai Guru Besar di Jalan Mistik Sifat itu membikin karya-karyanya jarang terlacak. Kalaupun sekarang ada, tak lebih dari jasa orientalis Inggris, Arthur John Arberry. Pengamat Islam ini berhasil menerjemahkan beberapa karyanya tahun 1934. Meski demikian tidak banyak karya-karyanya yang terlacak. Pengembaraan menjadi salah satu cirinya. Karya-karyanya juga penuh dengan perjalanan spiritual yang mengagumkan. Tidak kalah jauhnya dengan pengembaraannya di dunia nyata. Tahap demi tahap dilakukannya sampai pada puncak yang paling tinggi.

Itulah salah satu kalimat dari beberapa karya an-Nifary. Tokoh ini terasa unik. Berbeda dengan sufi lainnya, dalam diri an-Nifary ada dua kelebihan. Di dunia sastra sufi, an-Nifary sama seperti ar Rumi maupun maupun al Aththar. Dibanding dengan keduanya, karya an-Nifary lebih mendalam. Pertama, ia seorang sastrawan sufis. Kedua, ia seorang teoritikus mistik.

Pengalaman spiritual dibingkai dalam bahasa sastra yang tinggi dan elok. Tidak dapat dipungkiri, nama an Niffrari berderet diantara sufi-sufi agung dan sastrawan sepanjang zaman. Bait-bait puisinya tidak pernah luput dari pemaknaan tentang Tuhan. Seperti puisinya tentang penyerahan kepada Allah berikut ini:

Ilmu adalah huruf yang tak terungkap kecuali oleh perbuatan. Dan perbuatan adalah huruf yang tak terungkap kecuali oleh keikhlasan. Dan keikhlasan adalah huruf yang tak terungkap kecuali oleh kesabaran. Dan kesabaran adalah huruf yang tak terungkap oleh penyerahan

Sifat pasrah berhasil diungkapkan dalam bahasa yang indah. Puisi ini menggambarkan bagaimana sebaiknya mengartikan kepasrahan secara mendasar. Totalitas penyerahan kepada Tuhan akan menghasilkan pemaknaan yang benar tentang Islam. Dan itulah pula makna sujud yang dilakukan oleh umat Islam dalam sholat. Tidak hanya kening yang melekat di hamparan sajadah. Tetapi jauh lagi adalah menyerahkan jiwa raganya kepada Allah.

Pemahamannnya yang tinggi terhadap tasawuf menempatkannya dalam deretan teoritikus mistik sepanjang zaman. Ada yang berpendapat bahwa an-Nifary mempunyai kemiripan dengan al Hallaj. Keduanya telah mencapai Wahdatusy Syuhud (Penyatuan Penyaksian). Bedanya hanya soal kehati-hatian. An-Nifary cenderung lebih hati-hati untuk tidak mengatakan seperti al Hallaj atu al Bustami. Kalau al Hallaj mungkin lebih memilih untuk berkata ," Akulah al Haq!". Atau al Bustami dengan kredonya yang terkenal, "Mahasuci daku, alangkah agungnya perihalku."

Al Hallaj dalam menanggapi perjalanan spiritualnya sering kali terlihat menimbulkan kontroversi. Bahkan gara-gara pencapaiannya ini, ia dihukum mati. Berbeda dengan al Bustami maupun an-Nifary. Dua sosok ini lebih hati-hati dalam mengungkapkan pencapaian-pencapaian spiritualitasnya. Walau begitu kesalahan pemahaman terhadap keduanya juga sering bermunculan.

Karya-karya an-Nifary
Terlepas dari itu semua, pemikiran tasawuf dengan sangat memukau. Tasawuf di kaji secara mendalam dengan argumentasi yang cerdas. Sufisme menjadi bahasa spiritual sekaligus ilmu pengetahuan. Melalui simbol-simbol tampak sekali perjalanan dan konsepnya tentang tasawuf. Meski dengan hati- hati, ia mampu menerjemahkannya dalam sebuah pola berfikir yang jitu.

Ada sebuah karyanya yang penting dan dapat dinikmati sampai sekarang. Kitab berjudul al Mawafiq wal Mukhthabat ( Posisi-Posisi dan Percakapan-Percakapan). Diakui banyak pengamat, karyanya ini sarat dengan simbol. Hasilnya bahasa-bahasa kiasan itu sering menimbulkan kontroversi. Dimungkinkan kalau tidak hati-hati akan menimbulkan pemaknaan yang salah.

Selanjutnya karya ini menjadi dua bagian penting. Namun keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Ada sebuah cerita menarik tentang karyanya ini. Menurut pendapat satu-satunya pemberi syarah karya an-Nifary, Afifuddin at-Tilmisani bahwa ia tidak menulis sendiri karyanya. An-Nifary hanya mendiktekan ide dan pengalaman spiritualnya pada sang anak. Atau ia hanya menulis dalam potongan-potongan kertas dan kemudian disusun kembali oleh putranya itu. Dimungkinkan kalau karyanya ditulis dan disusun sendiri akan lebih sempurna dan indah.

Dalam bagian pertama kitab ini diterangkan maqam, posisi atau tempat berdiri seseorang. Mawafiq yang merupakan jamak dari mauqif menunjukkan posisi seseorang dalam tingkatan spiritualitas. Posisi itu sendiri disebut waqfah. Menurutnya waqfah ini merupakan sumber ilmu. Tentang hal ini Dr.Fudholi Zaini menulis,” Waqfah adalah ruh dari ma’rifat, dan pada ma’rifat adalah ruh dari kehidupan. Pada waqfah telah tercakup di dalamnya ma’rifah, dan pada ma’rifah telah tercakup di dalamnya ilmu. Waqfah berada dibalik kejauhan ( al ab’ud ) dan kedekatan (al qurb), dan ma’rifah berada dalam kedekatan, dan ilmu ada dalam kejauhan. Waqfah adalah kehadiran Allah dan ma’rifah adalah ucapan Allah, dan ilmu adalah tabir Allah. Dengan demikian urutan dari besar ke kecil sebagai berikut: waqfah, ma’rifah dan ilmu.”

Proses penyaksiaan ini menjadi hal yang sangat pribadi. Bila orang mencapai maqam tinggi, perkataannya bisa menjadi sesuatu yang tidak jelas dan sulit dimengerti. Bahkan dalam beberapa hal sukar untuk dikomunikasikan. Maka dari itu an-Nifary memilih diam ketika melewati tahapan spiritualitasnya. Baginya kata-kata tidak pernah bisa menampung penglihatannya.

Dalam kitab ini juga diterangkan tentang ilmu dan amal perbuataan atau makrifat dengan ibadah. Ia mengatakan berpendapat hakekat ilmu adalah perbuatan. Hakekat perbuatan adalah keihlasan. Hakekat keikhlasan adalah kesabaran, dan hekekata kesabaran adalah penyerahan. Baginya hehekat tidak akan terbentuk kecuali dengan syariat. Demikian pula ide tidak akan terlaksana kalau tidak ada penerapan dan perbuatan. Makanya kerterkaitan antara syariat dan hakaket menjadi penting artinya.

Sedang dalam al Mukhathabat berisi kata-kata batin dan kata-kata yang Maha Kuasa dalam diri sang sufi. Di mana dalam posisi terakhir ini an-Nifary lebih memilih diam. Pengalaman ruhani yang luar biasa ini menimbulkan spontanitas yang membuatnya menjadi gagap. Menutut Dr.Fudholi Zaini, kitab al Mukhathabat ini biasanya diawali dengan ungkapan”Ya abd!” (Wahai hamba). Di tulis juga dalam kitab ini bahwa ilmu menempati posisi yang utama. Semua jalan menuju Tuhan harus lewat ilmu.

Tak salah kalau AJ Arberry memandang an-Nifary sebagai teoritikus ulung. Spiritualitas di tangannya bisa lebih dipahami. Dengan pengungkapan melalui bahasa sastra yang indah, beberapa pokok pandangan sufistiknya mengalir lancar. Sebagai ulama yang sangat memegang syariat, cara bertuturnyapun cenderung tidak melewati aturan. Emosi pengembaraan spiritual tergambar pelan-pelan menuju puncak Ilahiyah.

Kata-kata Bijak an-Nifary
Membaca ujaran-ujaran an-Nifary kita akan melihat cara pandangnya. Beberapa pemikirannya tentang ilmu, tabir sampai persaksian dengan Tuhan berhasil dijelaskan. Tidak ada kata yang meledak-ledak. Padahal simbol dan makna yang diungkapkannya kadang terasa aneh dan gelap. Berikut beberapa ujaran an-Nifary yang berhasil dihimpun oleh pengamat sufisme Margareth Smith sebagaimana ditulis dalam buku ujaran-ujaran dan Karyanya :

“ Keabadian melagukan pujian kepada-Ku dan ia adalah salah satu sifat-Ku yang wajib melakukan hal itu, dan telah Aku ciptakan dari pujiannya malam dan siang dan telah Aku buat keduanya dalam selubung-selubung yang merentang mengelilingi mata dan pikiran manusia, dan mengelilingi benak dan kalbu mereka. Malam dan siang adalah dua selubung yang saling merentangi semua yang telah Aku ciptakan, tetapi karena Aku telah memilihmu untuk Diri-Ku, telah Aku angkat kedua selubung itu agar kau bisa melihat Ku dan kau telah melihat Ku , karenanya berdirilah dihadapan Ku dan teruslah dalam penglihatan Ku, karena kau tidak akan terpisah oleh sesuatu yang tak mungkin
megak dan serahkanlah hanya kepada Ku semua yang pernah Aku wujudkan kepadamu.”

Disamping itu juga ditulis,” Tuhan berkata kepadaku : “Tanyakan kepada-Ku dan katakan,” Duhai Tuhan , berapa lama aku harus berpegang teguh kepada Mu , agar ketika hari pembalasan tiba, engkau tidak menghukumku dengan hukuman Mu dan Engkau tidak berpaling dariku ?” Dan Aku akan berkata kepadamu ,” Berpegang teguhlah pada hukum agama (Sunah) dalam pengetahuan dan tindakan, dan perpegang teguhlah engkau pada ilmu yang telah Aku berikan kepadamu kedalam kalbumu, dan ketahuilah bahwa ketika Aku menjadikan diri Ku terlihat olehmu, Aku tidak akan menerima darimu dari apa yang datang kepadamu dari penjelmaan Ku yang terlihat untukmu, karena kepada kaulah Aku telah berbicara. Kau telah mendengarkan Ku, kau mengetahui bahwa kau mendengarkan Ku dan kau memahami bahwa semua benda berasal dari Ku”
Sedang Dr.Fudholi Zaini menerjemahkan beberapa ujarannya sebagai berikut:

“Ia menghentikanku dalam posisi kebangggan dan berkata kepadaku: Akulah yang lahir dan tak ada yang tampak dariku. Dekatnya tak bisa memantauku dan wujudnya tak bisa menujukku. Akulah penyembunyi yang batin dan aku lebih tersembunyi darinya. Dalilnya tak bisa melacakku dan lorongnya tak sampai kepadaku.

Kebodohan itu tabirnya penglihatan dan ilmu juga tabirnya penglihatan. Akulah yang lahir tanpa tabir dan hijab, dan akaulah yang batin tanpa singkap. Siapa yang telah mengenal hijab maka ia akan segera menjelang singkap.” Selanjutnya ia menulis, “ Kedirian seorang waqif adalah diamnya. Kedirian seorang arif adalah ucapannya. Kedirian seorang alim adalah ilmunya.”

Itulah salah satu kalimat dari beberapa karya an-Nifary. Kata-kata diatas mengambarkan pemaknaan yang cukup dalam tentang pengetahuan dan makrifat. Tiap kali bertambah ilmu serta makrifat, semakin sedikitlah kata-kata yang bisa diungkapkan. Yang ada hanya ketakjuban akan pesona keindahan dan kebesaran Sang Segala Keindahan.

Sumber : sufinews.com

Abdullah Al-Haddad

Penulis Ratib Haddad, Abdullah Al-Haddad Berguru Pada 100 Ulama
ABDULLAH AL-HADDAD, penulis Ratib Alhaddad ini sudah akrab di telinga masyarakat Islam Indonesia, Malaysia, India, Pakistan dan negara-negara Islam di Timur Tengah. Karena Ratib-urutan (wirid, zikir)-nya yang ditulis sekitar empat abad yang lalu, sudah diamalkan oleh masyarakat Islam, baik pengikut paham Sunni maupun Syiah. Maklum, selain cerdas, dalam ilmu keislamannya, ia ternyata juga memiliki garis keturunan sampai kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Fatimah putri Rasulullah SAW.

Nama lengkapknya adalah Al-Imam al-Sayid Abdullah bin Alwi bin Muhammad al-Haddad dilahirkan di pinggiran kota Tarim, sebuah kota bagian dari Hadramaut, Yaman Selatan, pada malam Senin tanggal 5 Shafar 1044H/1636 M.. Ia belajar pendidikan agama ke orang tuanya kemudian ke beberapa guru dengan pelajaran Al-Quran dan ilmu-ilmu dasar keislaman lainnya. Setelah ia hafal Al-Quran dan ilmu-ilmu dasar keislaman tersebut ia kemudian melanjutkan pelajaran kepada ilmu-ilmu keislaman yang lebih tinggi dengan amat rajin, cerdas, dan berbakat.

Alhaddad mengembara dari Hadramaut ke kota lainnya di Yaman dengan berpindah-pindah tempat sampai ke Mekkah dan Madinah. Selain rajin belajar, ia juga senang beribadah, setiap hari berkeliling kota Tarim untuk bersembahyang dalam setiap masjid yang ditemuinya. Dalam menuntut ilmu keislaman tersebut ia telah berguru ke lebih seratus ulama. Di antaranya Sayid bin Abdurrahman bin Muhammad bin Akil al-Saqqaf, tokoh sufi mazhab Malamatiyah, dan daripadanya Alhaddad mendapat ijazah/khirqah kesucian. Gurunya yang lain adalah Sayid Abu Bakar bin Abdurrahman bin Syihabuddin dan Sayid Umar bin Abdurrahman al-Attas, tokoh yang terkenal dalam ilmu tarekat. Dari guru-gurunya itulah ia banyak berpengaruh hingga menekuni tasawwuf sampai ia menyusun Ratib Haddadiyah (wirid-wirid perisai diri, keluarga dan harta) yang terkenal itu.

Dan dari guru-gurunya tersebut dengan kajiannnya yang mendalam di berbagai ilmu keislaman sampai Al-Haddad benar-benar menjadi orang yang alim; menguasai seluk-beluk syariat dan hakikat, memliki spiritualitas yang tinggi dalam tasawuf hingga memperoleh tingkat qutub/ghaust, yaitu seorang dai yang menyampaikan ajaran-ajaran Islam dengan sangat mengesankan dan sebagai seorang penulis yang produktif yang karya-karyanya tetap dipelajari orang sampai sekarang ini.

Karya Tulis Alhaddad :
Sayid Abdullah al-Haddad wafat dalam usia 88 tahun pada hari Selasa, 7 Dzulqa’dah 1132 H/1724 M di Tarim. Ia meninggalkan karya tulis antara lain: Al-Nasaih al-Diniyah, Sabil al-Iddikar Wa al-‘I’tibar Bima Yamurru Bi al-Insan Wa-yangkadhi lahu min al-A’mar, Al-Da’wat al-Ittihaf al-Sail, Al-Fushul al-Ilmiyah Wa Ushul al-Hikmiyah, Risalat al-Muzakarah, Risalat al-Mu’awanah Wa al-Muzaharah Wa al-Muwazarah Li al-Raghibin min al-Mu’minin fi Suluk al-Thariq al-Akhirah, Risalat al-Murid, dan Kitab al-Majmu’.

Selain itu terdapat ucapan dan ajaran-ajarannya yang sempat dicatat murid-muridnya dan pengikutnya antara lain: Al-Maktubat (kumpulan surat menyurat), Ghayat al-Qashoad Wa al-Murad oleh Sayid Muhammad bin Zain bin Samath, dan Tasbit al-Fuad oleh Syekh Ahmad bin Abdul Karim al-Hasawi.

Diakui para sufi bahwa ada ketinggian dan keindahan spiritualitas yang tinggi pada kesufian Al-Haddad. Bahwa dari karya-karyanya tersebut betapa sejuk dan indahnya bertasawwuf. Betapa tidak, tasawuf bagi al-Haddad adalah ibadah, zuhud, akhlak, dan zikir, suatu jalan membina dan memperkuat kemandirian menuju kepada Allah swt. Saperti dalam Al-Iddikar, Al-Haddad menjelaskan kehidupan manusia sejak dalam rahim, di dunia, di alam mahsyar, sampai pada kehidupan yang abadi, disertai dengan ayat-ayat Al-Quran dan hadis yang tersusun rapi dengan uraian yang mengesankan. Dalam kitabnya Risalah al-Mu’awanah, al-Haddad menegaskan pesannya kepada umat Islam untuk berpegang pada al-Quran dan hadis, termasuk di dalamnya kehidupan tasawwuf yang tidak boleh lepas dari al-Quran dan hadis, serta menghindari bid’ah mazmumah (sesuatu yang menyimpang dari al-Quran dan hadis). Oleh sebab itu al-Haddad melihat tasawuf tersebut adalah untuk melaksanakan semua perintah Allah swt dan menjauhi semua larangan-Nya, sambil membersihkan diri dan menjernihkan jiwa hingga merasa cukup dengan Allah dan tidak membutuhkan dunia yang lain.

Sedangkan di dalam Al-Maktubat, ia berpesan; seorang sufi harus menyaring dan menjernihkan segala perbuatan, ucapan, dan semua niat serta perilaku dari berbagai kotoran berupa riya (pamer), dan segala sesuatu yang tidak disukai Allah swt. Selain itu manusia harus menghadap Allah secara terus-menerus secara lahir maupun batin dengan mengerjakan semua ketaatan hanya kepada Allah dan berpaling dari segala sesuatu selain Allah Yang Maha Esa.

Dalam Al-Fushul al-Ilmiyah, al-Haddad menguraikan intinya adalah memurnikan tauhid (akidah) dari sumber-sumber syirik, kemudian menumbuhkan akhlak terpuji seperti zuhud, ikhlas, dan bersih hati terhadap kaum muslimin serta menghilangkan segala sifat buruk seperti cinta dunia, riya, dan angkuh. Kemudian melaksanakan amal saleh yang nyata dan menjauhi perbuatan buruk. Mencari nafkah dengan baik melalui jalan wara’ (menjaughkan diri dari segala sesuatu yang haram, dosa dan maksiat) dan qanaah (mensyukuri terhadap apa yang telah diusahakannya).

Bagi kalangan ahli hikmah, jumlah dalam bacaan memiliki makna tersembunyi (asrar). Jumlah juga mengandung misteri (sirr). Dan tentunya mengamalkan Ratib Alhaddad tidak perlu ragu asal tidak menyimpang dari al-Quran dan hadis. Apalagi, di era sekarang ini di tengah masyarakat dan ummat menghadapi kegelisahan, kebingungan, bahkan frustrasi karena dunia modern tidak mampu memberikan solusi terhadap berbagai persoalan, maka dengan mengamalkan Ratib ini diharapkan mampu memberikan kesejukan jiwa sekaligus jalan dan jawaban terhadap masalah-masalah duniawi yang makin rumit tersebut.

Sebagaimana dimaklumi, kecenderungan kepada kehidupan spiritual yang tinggi telah ditunjukkan oleh semua sahabat Rasulullah seperti Abu Bakar Asshiddiq, Umar bin Khattab, usman bin Affan, dan tidak terkecuali Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Di kalangan pengikut Ali yang dikenal dengan Syiah bahkan juga kaum muslimin selalu mengaitkan jalur spiritual kesufian tersebut kepada Ali. Dan di masyarakat Syiah sepanjang masa kehidupan spiritual itu selalu dipelihara dan dikembangkan dengan baik sampai hari ini, demikian pula di kalangan sunni.

Sumber : sufinews.com

Al-Hallaj

Antara Drama Ilahi dan Tragedi Penyingkapan Rahasia
Abad ketiga hijriyah merupakan abad yang paling monumental dalam sejarah teologi dan tasawuf. Lantaran, pada abad itu cahaya Sufi benar-benar bersinar terang. Para Sufi seperti Sari as-Saqathy, Al-Harits al-Muhasiby, Ma’ruf al-Karkhy, Abul Qasim al-Junaid al-Baghdady, Sahl bin Abdullah at-Tustary, Ibrahim al-Khawwash, Al-Husain bin Manshur al-Hallaj, Abu Bakr asy-Syibly dan ratusan Sufi lainya.

Di tengah pergolakan intelektual, filsafat, politik dan peradaban Islam ketika itu, tiba-tiba muncul sosok agung yang dinilai sangat kontroversial oleh kalangan fuqaha’, politisi dan kalangan Islam formal ketika itu. Bahkan sebagian kaum Sufi pun ada yang kontra. Yaitu sosok Al-Husain bin Mansur Al-Hallaj. Sosok yang kelak berpengaruh dalam peradaban teosofia Islam, sekaligus menjadi watak misterius dalam sejarah Tasawuf Islam.

Nama lengkapnya adalah al-Husain bin Mansur, populer dipanggil dengan Abul Mughits, berasal dari penduduk Baidha’ Persia, lalu berkembang dewasa di Wasith dan Irak. Menurut catatan As-Sulamy, Al-Hallaj pernah berguru pada Al-Junaid al-Baghdady, Abul Husain an-Nury, Amr al-Makky, Abu Bakr al-Fuwathy dan guru-guru lainnya. Walau pun ia ditolak oleh sejumlah Sufi, namun ia diterima oleh para Sufi besar lainnya seperti Abul Abbad bin Atha’, Abu Abdullah Muhammad Khafif, Abul Qasim Al-Junaid, Ibrahim Nashru Abadzy. Mereka memuji dan membenarkan Al-Hallaj, bahkan mereka banyak mengisahkan dan memasukkannya sebagai golongan ahli hakikat. Bahkan Muhammad bin Khafif berkomentar, “Al-Husain bin Manshur adalah seorang a’lim Rabbany.”

Pada akhir hayatnya yang dramatis, Al-Hallaj dibunuh oleh penguasa dzalim ketika itu, di dekat gerbang Ath-Thaq, pada hari Selasa di bulan Dzul Qa’dah tahun 309 H.

Kelak pada perkembangannya, teori-teori Tasawuf yang diungkapkan oleh Al-Hallaj, berkembang lebih jauh, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Araby, Al-Jiily, Ibnu Athaillah as-Sakandary, bahkan gurunya sendiri Al-Junaid punya Risalah (semacam Surat-surat Sufi) yang pandangan utuhnya sangat mirip dengan Al-Hallaj. Sayang Risalah tersebut tidak terpublikasi luas, sehingga, misalnya mazhab Sufi Al-Junaid tidak difahami secara komprehensif pula. Menurut Prof Dr. KH Said Aqiel Sirraj, “Kalau orang membaca Rasailul Junaid, pasti orang akan faham tentang pandangan Al-Hallaj.”

Pandangan Al-Hallaj banyak dikafirkan oleh para Fuqaha’ yang biasanya hanya bicara soal halal dan haram. Sementara beberapa kalangan juga menilai, kesalahan Al-Hallaj, karena ia telah membuka rahasia Tuhan, yang seharusnya ditutupi. Kalimatnya yang sangat terkenal hingga saat ini, adalah “Ana al-Haq”, yang berarti, “Akulah Allah”.

Tentu, pandangan demikian menjadi heboh. Apalagi jika ungkapan tersebut dipahami secara sepintas belaka, atau bahkan tidak dipahami sama sekali.

Para teolog, khususnya Ibnu Taymiyah tentu mengkafirkan Al-Hallaj, dan termasuk juga mengkafirkan Ibnu Araby, dengan tuduhan keduanya adalah penganut Wahdatul Wujud atau pantheisme.

Padahal dalam seluruh pandangan Al-Hallaj tak satu pun kata atau kalimat yang menggunakan Wahdatul Wujud (kesatuan wujud antara hamba dengan Khaliq). Wahdatul Wujud atau yang disebut pantheisme hanyalah penafsiran keliru secara filosufis atas wacana-wacana Al-Hallaj. Bahkan yang lebih benar adalah Wahdatusy Syuhud (Kesatuan Penyaksian). Sebab yang manunggal itu adalah penyaksiannya, bukan DzatNya dengan dzat makhluk.Para pengkritik yang kontra Al-Hallaj, menurut Kiai Abdul Ghafur, Sufi kontemporer dewasa ini, melihat hakikat hanya dari luar saja. Sedangkan Al-Hallaj melihatnya dari dalam.

Sebagaimana Al-Ghazali melihat sebuah bangunan dari dalam dan dari luar, lalu menjelaskan isi dan bentuk bangunan itu kepada publik, sementara Ibnu Rusydi melihat bangunan hanya bentuk luarnya saja, dan menjelaskannya kepada publik pula. Tentu jauh berbeda kesimpulan Al-Ghazali dan Ibnu Rusydi.

Setidak-tidaknya ada tiga keleompk besar dari kalangan Ulama, baik fuqaha’ maupun Sufi terhadap pandangan-pandangan Al-Hallaj ini. Mereka ada yang langsung kontra dan mengkafirkan; ada pula yang secara moderat tidak berkomentar; dan ada yang langsung menerima dan mendukungnya. Menurut penelitian Dr. Abdul Qadir Mahmud, dalam bukunya Al-Falsafatush Shufiyah fil Islam.

Sumber : sufinews.com

Syekh Abdur Qadir Jilany

Syekh Abdur Qadir Jilany adalah adalah imam yang zuhud dari kalangan sufi. Nama lengkap beliau adalah Abdul Qadir bin Abi Sholih Abdulloh bin Janki Duwast bin Abi Abdillah bin Yahya bin Muhammad bin Daud bin Musa bin Abdillah bin Musa al-Hauzy bin Abdulloh al-mahdh bin Al-Hasan al-mutsanna bin al-Hasan bin Ali bin Abi Tholib Al-Jailani dinisbahkan ke sebuah tempat di dekat thobristan yaitu Jiil, atau Jilan atau Kilan

Beliau lahir tahun 471 H di Jailan. Di masa mudanya beliau pergi ke Baghdad dan belajar dari al-Qadhy Abi Sa’d al-Mukhorromy. Beliau pun banyak meriwayatkan hadits dari sejumlah ulama pada masa itu di antaranya; Abu Gholib al-Baqillany dan Abu Muhammad Ja’far as-Sirraj.

Syekh ‘Izuddin bin Abdissalam mengatakan: “Tidak ada seorangpun yang karamahnya diriwayatkan secara mutawatir kecuali Syekh Abdul Qadir Jiilany.” Syekh Nuruddin asy-Syathonufy al-Muqry mengarang sebuah buku yang menjelaskan tentang sirah dan karamah beliau dalam 3 jilid, dalam buku tersebut dikumpulkan semua berita yang berkaitan dengan syekh baik itu berita yang benar, palsu maupun hanya cerita rekaan. wallahu a’lam.

Di antara cerita yang terdapat dalam buku tersebut adalah sebuah kisah yang diriwayatkan dari Musa bin Syekh Abdul Qadir al-Jilany ia berkata: Aku mendengar ayahku bercerita: Pada suatu waktu, ketika aku sedang berada dalam perjalanan di sebuah gurun. Berhari-hari lamanya aku tidak menemukan air, dan aku sangat kehausan. Tiba-tiba ada awan yang melindungiku dan turun darinya setetes air kemudian aku meminumnya dan hilang rasa dahagaku, kemudian aku melihat cahaya terang benderang, tiba-tiba ada suara memanggilku, “Wahai Abdul Qodir, Aku Rabbmu dan Aku telah halalkan segala yang haram kepadamu.” Maka Abdul Qodir berkata: “Pergilah wahai engkau Syetan terkutuk.” Tiba-tiba berubah menjadi gelap dan berasap, kemudian ada suara yang mengucapkan: “Wahai Abdul Qodir, engkau telah selamat dariku (syetan) dengan amalmu dan fiqihmu.” Demikian sedikit kisah tentang Abdul Qodir.

Syekh Abdul Qadir memiliki 49 orang anak, 27 di antaranya adalah laki-laki. Beliaulah yang mendirikan tariqat al-Qadiriyah. Di antara tulisan beliau antara lain kitab
  • Al-Fathu Ar-Rabbani,
  • Al-Ghunyah li Thalibi Thariq Al-Haq dan
  • Futuh Al-Ghaib.

Tahukah anda siapa itu Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani?
Biografi Syaikh Abdul Qadir Al Jailani termuat dalam kitab Adz Dzail 'Ala Thabaqil Hanabilah I/301-390, nomor 134, karya Imam Ibnu Rajab Al Hambali. Tetapi, buku ini belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Beliau adalah seorang ulama besar sehingga suatu kewajaran jika sekarang ini banyak kaum muslimin menyanjungnya dan mencintainya. Akan tetapi kalau meninggi-ninggikan derajat beliau berada di atas Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, maka hal ini merupakan suatu kekeliruan. Karena Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam adalah rasul yang paling mulia di antara para nabi dan rasul yang derajatnya tidak akan pernah bisa dilampaui di sisi Allah oleh manusia siapapun.

Ada juga sebagian kaum muslimin yang menjadikan Syaikh Abdul Qadir Al Jailani sebagai wasilah (perantara) dalam do'a mereka. Berkeyakinan bahwa do'a seseorang tidak akan dikabulkan oleh Allah, kecuali dengan perantaraannya. Ini juga merupakan kesesatan.

Menjadikan orang yang sudah meninggal sebagai perantara tidak ada syari'atnya dan ini sangat diharamkan. Apalagi kalau ada yang berdo'a kepada beliau. Ini adalah sebuah kesyirikan besar. Sebab do'a merupakan salah satu bentuk ibadah yang tidak boleh diberikan kepada selain Allah. Allah melarang makhluknya berdo'a kepada selainNya. Allah berfirman, yang artinya:

"Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah." (QS. Al Jin:18)

Kelahirannya
Syaikh Abdul Qadir Al Jailani adalah seorang 'alim di Baghdad yang lahir pada tahun 490/471 H di kota Jailan atau disebut juga Kailan. Sehingga di akhir nama beliau ditambahkan kata Al Jailani atau Al Kailani atau juga Al Jiliy.

Pendidikannya
Pada usia yang masih muda beliau telah merantau ke Baghdad dan meninggalkan tanah kelahirannya. Di sana beliau belajar kepada beberapa orang ulama seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthath, Abul Husein Al Farra' dan juga Abu Sa'ad Al Mukharrimi sehingga mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama.

Pemahamannya
Beliau seorang Imam bermadzhab Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada masa hidup beliau. Beliau adalah seorang alim yang beraqidah ahlus sunnah mengikuti jalan Salafush Shalih. Dikenal banyak memiliki karamah-karamah. Tetapi banyak pula orang yang membuat-buat kedustaan atas nama beliau. Kedustaan itu baik berupa kisah-kisah, perkataan-perkataan, ajaran-ajaran, "thariqah" yang berbeda dengan jalan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, para sahabatnya dan lainnya.

Syaikh Abdul Qadir Al Jailani menyatakan dalam kitabnya, Al Ghunyah, "Dia (Allah) di arah atas, berada di atas 'ArsyNya, meliputi seluruh kerajaanNya. IlmuNya meliputi segala sesuatu. "Kemudian beliau menyebutkan ayat-ayat dan hadits-hadits, lalu berkata, "Sepantasnya menetapkan sifat istiwa' (Allah berada di atas 'ArsyNya) tanpa takwil (menyimpangkan kepada makna lain). Dan hal itu merupakan istiwa' dzat Allah di atas 'Arsy.

Dakwahnya
Suatu ketika Abu Sa'ad Al Mukharrimi membangun sekolah kecil di sebuah daerah yang bernama Babul Azaj dan pengelolaannya diserahkan sepenuhnya kepada Syaikh Abdul Qadir. Beliau mengelola sekolah ini dengan sungguh-sungguh. Bermukim di sana sambil memeberikan nasehat kepada orang-orang yang ada di sana, sampai beliau meninggal dunia di daerah tersebut.

Banyak sudah orang yang bertaubat demi mendengar nasihat beliau. Banyak orang yang bersimpati kepada beliau, lalu datang ke sekolah beliau. Sehingga sekolah ini tidak kuat menampungnya. Maka diadakan perluasan.

Imam Adz Dzahabi dalam menyebutkan biografi Syaikh Abdul Qadir Al Jailani dalam Siyar A'lamin Nubala, menukilkan perkataan Syaikh sebagai berikut, "Lebih dari lima ratus orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah bertaubat."

Murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama terkenal, seperti Al Hafidz Abdul Ghani yang menyusun Umdatul Ahkam Fi Kalami Khairil Anam. Ibnu Qudamah penyusun kitab fiqh terkenal Al Mughni.

Wafatnya
Beliau Wafat pada hari Sabtu malam, setelah maghrib, pada tanggal 9 Rabi'ul Akhir tahun 561 H di daerah Babul Azaj.

Pendapat ulama
Ketika ditanya tentang Syaikh Abdul Qadir Al jailani, Ibnu Qudamah menjawab, "Kami sempat berjumpa dengan beliau di akhir masa kehidupannya. Beliau menempatkan kami di sekolahnya. Beliau sangat perhatian kepada kami. Kadang beliau mengutus putra beliau Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Terkadang beliau juga mengirimkan makanan buat kami. Beliau senantiasa menjadi imam dalam shalat fardhu."

Ibnu Rajab di antaranya mengatakan, "Syaikh Abdul Qadir Al Jailani adalah seorang yang diagungkan pada masanya. Diagungkan oleh banyak para syaikh, baik ulama dan para ahli zuhud. Beliau memiliki banyak keutamaan dan karamah. Tetapi ada seorang yang bernama Al Muqri' Abul Hasan Asy Syathnufi Al Mishri (orang Mesir) mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan Syaikh Abdul Qadir Al Jailani dalam tiga jilid kitab. Dia telah menulis perkara-perkara yang aneh dan besar (kebohongannya). Cukuplah seorang itu dikatakan berdusta, jika dia menceritakan segala yang dia dengar. Aku telah melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tenteram untuk meriwayatkan apa yang ada di dalamnya, kecuali kisah-kisah yang telah masyhur dan terkenal dari kitab selain ini. Karena kitab ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Juga terdapat perkara-perkara yang jauh (dari agama dan akal), kesesatan-kesesatan, dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil tidak terbatas. Semua itu tidak pantas dinisbatkan kepada Syaikh Abdul Qadir Al Jailani. Kemudian aku dapatkan bahwa Al Kamal Ja'far al Adfawi telah menyebutkan bahwa Asy Syathnufi sendiri tertuduh berdusta atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab ini."

Ibnu Rajab juga berkata, "Syaikh Abdul Qadir Al Jailani memiliki pendapat yang bagus dalam masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma'rifat yang sesuai dengan sunnah. Beliau memiliki kitab Al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq, kitab yang terkenal. Beliau juga mempunyai kitab Futuhul Ghaib. Murid-muridnya mengumpulkan perkara-perkara yang banyak berkaitan dengan nasehat dari majelis-majelis beliau. Dalam masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang pada sunnah. "

Imam Adz Dzahabi mengatakan, "intinya Syaikh Abdul Qadir Al Jailani memiliki kedudukan yang agung. Tetapi terdapat kritikan-kritikan terhadap sebagian perkataannya, dan Allah menjanjikan (ampunan atas kesalahan-kesalahan orang-orang beriman). Namun sebagian perkataannya merupakan kedustaan atas nama beliau." (Syiar XX/451).

Imam Adz Dzahabi juga berkata, "Tidak ada seorangpun para ulama besar yang riwayat hidup dan karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syaikh Abdul Qadir Al Jailani, dan banyak di antara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang mustahil terjadi."

Syaikh Rabi' bin Hadi Al Makhdali berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil, hal.136, "Aku telah mendapatkan aqidah beliau (Syaikh Abdul Qadir Al Jailani) di dalam kitabnya yang bernama Al Ghunyah. Maka aku mengetahui dia sebagai seorang Salafi. Beliau menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan aqidah-aqidah lainnya di atas manhaj salaf. Beliau juga membantah kelompok-kelompok Syi'ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf.

Diringkas dari artikel : Siapakah Syeikh Abdul Qadir Al Jailani?
Majalah As-Sunnah edisi 07/VI/1423H-2002M

Kesimpulannya: Asy-Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani adalah seorang ulama ahlussunnah wal jamaah, salafi. Mempunyai karya-karya ilmiah di antaranya kitab Al-Ghun-yah dalam masalah tauhid Al-Asma` wa Ash-Shifat, yang di dalamnya beliau menjelaskan tentang akidah ahlussunnah. Sebagian ulama belakangan menyebutkan bahwa memang beliau mempunyai beberapa karamah, hanya saja sebagian orang-orang jahil lagi ghulum kepada beliau terlalu memperbesar-besar kejadiannya dan banyak menambah kisah-kisah palsu lagi dusta lalu menyandarkannya kepada beliau -rahimahullah-. Wallahu a’lam bishshawab.

Beliau wafat pada tanggal 10 Rabi’ul Akhir tahun 561 H bertepatan dengan 1166 M pada saat usia beliau 90 tahun.

Populer

 
Mustain Alibasya Copyright © 2010-2012 Profile Designed by Mustain Alibasya